Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan memiliki banyak pulau, salah satu
pulau tersebut ialah Pulau Jawa. Pulau Jawa memilki luas 132.000 Km², kira-kira
9% dari luas Indonesia yakni 1,5 juta km². Akan tetapi dari seluruh jumlah
penduduk Indonesia hampir 2/3 penduduknya
bertempat di Jawa. Ini berarti 9% luas tanah Indonesia menampung 2/3 jumlah penduduk sedangkan lebih dari 90% luas
tanah hanya menampung1/3 jumlah penduduk.
Pola kontras antara
jawa dengan luar jawa ini juga dapat dilihat dari penggunaan tanah. Hampir 70%
Pulau Jawa ditanami setiap tahun, sedangkan diluar jawa hanya sekitar 4%.
Bagian luar jawa hampir 90% ditanami dengan cara perladangan, bercocok tanam
berpindah-pindah dan tebang bakar. Sementara di Jawa hampir seluruhnya ditanami
2 kali setahun dengan cara sawah beririgasi.
Sejarah menjadi
penting bukan karena romantisme nostalgia atau mengagungkan kebanggaan
prestasi, tetapi justru karena dapat menjadi cermin untuk mengenal jati diri
dan memperbaiki hari esok dalam lintasan sejarah itu sendiri. Perjalanan
sejarah pertanian Indonesia dihiasi dengan serangkaian keberhasilan yang patut
disyukuri. Setelah kemerdekaan Indonesia mencapai surplus produksi beras dan
mengirimkan sebagian berasnya pada India yang ketika itu tengah mengalami
bencana. Indonesia juga dikenal sebagai eksportir gula yang utama. Setelah
melewati krisis politik pada pertengahan Tahun 1960, Indonesia berhasil
menerapkan paket teknologi kelembagaan hingga mampu menjadi negara yang dikenal
mampu menjadi negara berswasembada. Keberhasilan swasembada beras pada pertengahan
Tahun 1980 dapat ditunjukkan oleh angka-angka statistik yang cukup meyakinkan,
namun disisi lain, kondisi swasembada yang terjadi hanya dalam waktu singkat
dan biaya sangat besar mendapatkan beberapa permasalahan di kemudian hari.
Menanggapi sukses
ekonomi Indonesia yang sangat luar biasa, seorang analis ekonomi Hal Hill
menulis :
Seperempat abad terakhir merupakan periode perubahan yang luar biasa
pesatnya bagi Indonesia. Diawal-awal Tahun 1960-an, Indonesia sebenarnya tidak
banyak dikenal orang. Semenjak Tahun 1966 ekonominya berkembang mencapai 500%
dan penduduknya sekitar 75%. Masyarakatnya lebih terdidik dan tercukupi dalam
sandang dan pangan daripada sebelumnya. Kemiskinan pun semakin berkurang secara
signifikan… Saat ini bangsa Indonesia mampu mencukupi dirinya sendiri. Ia siap
bergabung dalam barisan “naga ekonomi” Asia lantaran berbagai hasil industrinya
melampaui hasil-hasil di bidang pertanian (Hill, 1994).
Revolusi hijau memang
mampu meningkatkan produksi beras nasional dan mengubah status Indonesia dari
pengimpor beras terbesar menjadi negara swasembada beras pada Tahun 1984. Namun
setelah itu, Indonesia kembali menjadi pengimpor beras. Pada Tahun 1985,
Indonesia mengimpor 9.429 ton beras. Sedangkan pada Tahun 1987 impor beras
Indonesia meningkat menjadi 54.830 ton dan pada Tahun 1992 mencapai 566.441
ton. Hardiyoko dan Panggih Saryoto menuliskan :
Dari data yang ada,
produksi beras nasional Indonesia tidak lagi mampu mencukupi kebutuhan beras
penduduk mulai Tahun 1985. Meski revolusi hijau mampu mengangkat swasembada
beras, namun penerapannya telah berdampak negatif terhadap lingkungan dan
manusia.
Pada orde baru,
“politik swasembada” menjadi bendera utama pengelolaan pembangunan pertanian,
dengan mengembangkan dan menerapkan program yang sebenarnya sudah dicanangkan
sebelumnya, yaitu intensifikasi dengan penerapan teknologi, ekstensifikasi,
rehabilitasi dan berbagai program lain. Keberhasilan program swasembada beras
sebagai monumen keberhasilan pembangunan pertanian orde baru, dicapai setelah
lebih dari 15 tahun program Pelita dijalankan dan penetapan pertanian sebagai
prioritas (sementara sektor lain menjadi penunjang), menjadikan pembangunan
pertanian sebagai program di semua lini pemerintahan. Berbagai studi telah
menunjukkan bahwa keberhasilan pembangunan pertanian pada masa itu lebih dari
60 % ditentukan oleh faktor infrastruktur dan kelembagaan penunjang, sedangkan
sekitar 40 % sendiri ditentukan oleh berbagai usaha yang dilakukan internal
sektor pertanian sendiri. Namun setelah pertengahan Tahun 1980-an –setelah
industri ditempatkan sebagai prioritas pertama- ekonomi Indonesia kemudian
memang berkembang lebih cepat, tetapi juga menjadi lebih rapuh yang berakhir
dengan krisis finansial Tahun 1997/1998.
Pada masa transisi
reformasi, politik pertanian Indonesia terbawa oleh arus perkembangan politik
nasional yang lebih besar. Departemen Pertanian melakukan pembangunan pertanian
yang terdesentralisasi sesuai dengan era politik yang dianut pada masa
tersebut. Selain itu arah pertanian menjadi lebih berdaya saing yang
mencerminkan perlunya usaha menghadapi tekanan persaingan yang semakin besar,
berkerakyatan yang mencerminkan semangat partisipasi dan berkelanjutan sejalan
dengan peningkatan kesadaran akan pentingnya pelestarian lingkungan.
Sumber :
Valensi Kautsar. 2010. Pola
Transformasi Spasial Pertanian di Kabupaten Sleman. Makalah Seminar Kelas. Fakultas
Pertanian Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
CC:
http://blog.ub.ac.id/emiradyh/2012/06/16/sejarah-perkembangan-pertanian-indonesia/