Tanggal 6 Januari 2013 Kami Rombonga
Penyuluh Pertanian Perikanan dan Kehutanan Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen
berangkat Menuju ke Aceh Tengah. Tujuan Utama Kami adalah Kebun yang ada di
Kecamatan Lingge Desa Despot. kami berangkat dari Bireuen Ke Aceh Tengah Jam
07.00 wib sungguh persiapan yang cukup Pagi kami berharap bisa sampai ke kebun
apel lebih awal dan bisa menikmati panorama alam kebun apel yang sejuk dan asri,
perjalan yang jauh dan melelahkan kami sampai di Kota Takengon Jam 11.30 WIB
disana rombongan kami istirahat sebentar dan membeli nasi bungkus yang
rencananya kami bisa sampai ke Tujuan dengan cepat dan bisa menikmati nasi bunksus
dengan panorama alam kebun apel yang mengasyikkan. setelah membeli Nasi bungkus
dan rehat kopi di kota Takengon Bus yang membawa kami memutar ke selatan menuju
ke Pegasing sesampai di pegasing Bus berhenti dan naik seorang pemandu yang
akan membawa kami ke kebun Apel, Bus Melanjutkan Perjalan perjalan dari
Pegasing ke Lingge sungguh perjalan yang mendebarkan, kenapa mendebarkab?
karena jalan menuju ke Lingge sangat sempit dan sisi Kanan Jalan teradapat
Jurang yang sangat dalam. selain jurang yang sagat dalam jalan juga penuh
dengan tikungan tajam, 2 – 3 penumpang Bus sampai muntah – muntah. memasuki
Kecamatan Lingge Bus Putar Haluan ke arah Timur memasuki jalan desa yang sempit
pertama kami harus melewati jembatan kayu sempit dan ada beberapa lubang disisi
kanan jembatan, beberapa penumpang dari turun mengecek kondisi jembatan.
setelah mengecek kondisi jembatan yang baru bus melewati jembatan tersebut
beberapa puluh meter dari jempatan bus harus mendaki yang cukup tinggi dengan
kondisi jalan berbatu dan rusak,,,Sopir
Bus harus extra hati – hati. kemudian bus melanjuti perjalan hingga tiba pada
sebuah tikungan dengan jalan yang mendaki,,,,,akhirnya Sang Sopir menyerah
kamipun menyerah dengan melihat jalan yang cukup mendaki kami tidak bisa ambil
resiko, kemudian kami menanyakan pada masyarakat di sekitar : mereka menjawab
kebun Apel masih harus menempuh perjalan 2 KM lagi dengan jalan yang cukup
mendaki, mereka bilang kalau BUS kemukinan tidak bisa lewat yang bisa melewati
kesana hanya mobil – mobil tertentu yang bisa melewati medan berat seperti
double cabin dan sejenisnya. akhirnya kami kecewa perjalan ke kebun apel tidak
kesampaian, kami harus berbalik arah andai Pemerintah Aceh Teungah Membangun
Akses Jalan Menuju Kebun Apel Pasti akan ramai yang berkunjung kesanan, ini
merupakan daya tarik wisata yang baru di Aceh tengah. baik lah teman – teman walau
kami tidak sampai kebun apel saya akan mengulas sidkit kutipan yang membahas
kebun Apel di Aceh Tengah
Kutipan : http://www.ciputraentrepreneurship.com/
Awalnya banyak pihak pesimistis
terhadap usaha Siswanto (51) membudidayakan apel di Aceh Tengah, negeri yang
lebih dikenal sebagai lumbung kopi. Tapi penduduk Kampung Despot Linge,
Kecamatan Linge, Aceh Tengah ini tetap optimistis bahwa apel juga cocok dikembangkan
di negeri berhawa sejuk itu. Kini, keyakinannya terbukti. Sekali panen apel, ia
bisa meraup omzet Rp 8 juta.
Beberapa jenis apel, di antaranya apel
manalagi, ana, rome beauty, australi, dan wangling, kini tumbuh subur di kebun
Siswanto yang berada di belakang rumahnya.
Apel dari kebun Pak Sis--demikian ia
biasa disapa--kini laris manis. Bahkan banyak warga yang sengaja
menunggu-nunggu kapan jadwal panen. Saat panen tiba, pengunjung dipersilakan
Pak Sis memetik sendiri apel yang ranum dari pohonnya. Mirip di Taman Buah
Mekarsari, Jawa Barat. Tapi jika hendak dibawa pulang, Pak Sis membanderol
apelnya dengan harga Rp 25 ribu per kilogram.
Kini konsumen apel Pak Sis bukan cuma
dari Aceh Tengah, tetapi banyak juga yang berasal dari daerah lain. “Untuk
kebun apel yang ada sekarang, sekali panen bisa menghasilkan duit sekitar Rp 8
juta. Tapi kendala yang kami hadapi saat ini adalah akses jalan kemari yang
belum begitu bagus,” ungkap Siswanto seperti dikutip dari Serambi Indonesia.
Di tengah keterpakuan masyarakat
Dataran Tinggi Gayo yang hanya mengandalkan tanaman kopi sebagai komoditas
primadona, Pak Sis telah membuktikan bahwa budidaya apel pun bisa mendatang
banyak duit di kabupaten berhawa sejuk ini.
Apel benar-benar telah menyumbangkan
kesejahteraan bagi suami Sri Suyati ini. Ia sudah bisa membeli dua mobil. Tidak
lagi hidup menumpang karena sudah mampu membangun rumah sendiri.
“Kami sekeluarga juga bisa pulang pergi ke kampung halaman di Malang,” ujarnya.
Dari namanya, mudah ditebak kalau
Siswanto bukan asli Aceh. Ia berasal dari Kabupaten Malang, Jawa Timur. Tapi
Aceh adalah “tanah air”
kedua baginya. Pak Sis sekeluarga awalnya menjadi transmigran di Despot Linge,
Aceh Tengah pada 1995. Tapi saat eskalasi konflik berkecamuk menjelang akhir
‘90-an, ia terpaksa eksodus dari Aceh tahun 2000.
Pak Sis memboyong keluarganya ke tanah kelahirannya
di Malang, Jawa Timur. Semua harta benda, termasuk kebun kopi dan rumah, terpaksa ia jual
murah untuk ongkos pulang ke Jawa. Ia tak ingin menjadi korban konflik yang
saat itu semakin tak tentu arah.
Sesampai di Malang, Pak Sis justru tak
betah. Soalnya, bangun pagi cuma lihat dinding rumah tetangga.
Kondisi itu hampir lima tahun dirasakan, lalu ia putuskan untuk kembali ke Aceh
Tengah.
Ketika di Aceh diberlakukan darurat
sipil, pada saat itulah, September 2004, Siswanto kembali ke Gayo bersama
keluarganya. “Awal kedatangan kami yang kedua ke Despot Linge ini, saya dan
keluarga menumpang lantaran tak punya rumah. Memulai hidup
baru harus merintis lagi dari nol. Sambil menggarap kebun kopi, saya berjualan
sayur dan pisang,” kenangnya.
Pria berkumis tebal ini juga coba-coba menanam
apel. Awalnya hanya empat batang bibit apel yang ia bawa dari Malang. Setelah
tampak tumbuh subur, barulah ditambah Pak Sis beberapa batang lagi. “Dengan
modal pertama 16 batang apel, sekarang saya sudah punya lahan sekitar 1,5
hektare yang seluruhnya ditanami apel berbagai jenis,” kata Pak
Sis.
Tantangan terberat yang dia rasakan
awalnya adalah sikap pesimis para tetangganya yang menganggap budidaya apel Pak
Sis bakal berbuah kesia-siaan. Maklum, Gayo bukan Jepang, juga bukan Virginia
atau Seattle di mana apel bisa hidup subur dan berbuah. Pak Sis hanya punya
satu teori, kalau di Malang yang berhawa sejuk apel bisa berbuah, mengapa tidak
jika ditanam di Takengon yang juga sejuk?
Tapi Pak Sis pernah sedih karena
beberapa warga yang dia beri bibit apel, justru menjadikannya sebagai tanaman
pagar karena menganggap tak bakal berbuah. Kini anggapan itu terbantah.
Pohon-pohon apel di belakang rumah Pak
Sis mulai menghasilkan rupiah sebagai hasil penjualan apel miliknya. “Apel ini
mulai banyak produksinya tahun 2008. Sampai sekarang terus berbuah. Dalam
setahun dua kali panen,” katanya.
Kini Pak Sis menambah lagi 1,5 hektare
luasan kebun apelnya. Sementara itu, puluhan pohon apel yang tumbuh subur di
belakang rumahnya telah mendongkrak ekonomi keluarga Pak Sis, sehingga ia
menjadi terkenal. “Ibu Bupati Aceh Tengah pernah datang kemari untuk membeli
apel dari kebun saya,” ungkap Pak Sis.
Selain berkebun apel, ia juga memiliki
kebun kopi. “Sekarang kebun kopi saya ada tiga hektare. Ditambah lagi dengan
kebun apel yang baru ditanami seluas 1,5 hektare,” ujar Siswanto.