Oleh : Arsyadi THL TBPP Kab.Bireuen
Me’urup sebuah kata yang memang terasa
asing dalam kosa kata kita. Namun pengertian dari Me’urup ini tidak lain
adalah tradisi gotong royong petani di Aceh, tradisi Me’urup sudah berlangsung
cukup lama dalam kehidupan petani di Aceh. Me’urup dapat diartikan sebagai bentuk
kerja bergilir dari kebun ke kebun petani atau dari sawah ke sawah. Misalnya
kebun petani A akan dikerjakan secara bersama-sama dengan sesama petani
lainnya. Demikian juga nantinya akan bergilir sampai semua petani yang
tergabung dalam kelompok Me’urup itu terkena giliran. Setelah selesai satu putaran
maka akan dilanjutkan pada putaran berikutnya dan terus berulang-ulang. Adapun
macam kegiatan yang dilakukan di kebun mulai dari kegiatan menanam , panen, meumpoe
(membersihkan gulma), membuat terassering, bahkan sampai memikul hasil
panen ke rumah petani. Pada prakteknya di lapangan yang temui kegiatan Me’urup
ini tidak hanya dilakukan di dalam
sebuah hamparan lahan pertanian tapi bisa juga dalam kegiatan ada juga dalam
kegiatan lain khususnya dalam kegiatan social kemasyarakatan.
Proses Me’urup ini dilakukan melalui proses musyawarah
petani. Dalam musyawarah tersebut diawali dengan penentuan anggota yang masuk
dalam kelompok tersebut. Biasanya penentuan berdasarkan kedekatan tempat
tinggal. Ini didasari kedekatan kekerabatan antara petani yang tergabung di
dalamnya. Kemudian setelah penentuan anggota yang tergabung, dilanjutkan dengan
penentuan kebun yang pertama kali yang akan dikerjakan bersama-sama. Penentuan
kebun berikutnya dilakukan setelah kebun pertama selesai dilakukan Me’urup.
Demikian proses Me’urup ini berjalan sampai nantinya semua petani yang
tergabung mendapat giliran masing-masing. Namun terkadang ada juga pemilik
kebun yang mengundang semua kelompok-kelompok yang ada di kampung untuk
membantu pemilik kebun untuk menyelesaikan pekerjaannya
Dari beberapa kali kegiatan Me’urup yang penulis ikuti ada
hal-hal menarik pada saat bersama-sama di satu hamparan kebun. Biasanya pada
saat bekerja bersama, petani saling bercerita tentang hal-hal yang terjadi di
keluarga, di desa dan ditambah dengan gurau-gurau kecil. Dan proses bekerja di
kebun ini kadang diselingi dengan acara pajoh
Ranup (makan sirih) dan bincang-bincang di tengah hamparan kebun. Istirahat
ini biasanya dikomandoi oleh pemilik kebun. Pada saat tengah hari , semua kerja
di kebun berhenti untuk istirahat dan berkumpul di pondok untuk makan.
Masing-masing petani yang membawa bekal mulai membuka bawaannya dan meletakkan
di atas tikar. Biasanya pemilik kebun juga menyediakan makanan untuk petani
yang datang. Di atas tikar akan terlihat macam ragam makanan, mulai dari nasi
putih, deughok (jenis kue yang
terbuat dari Sagu yang di campur pisang), nasi gurih dan campuran
kacang-kacangan terkadang ditambah dengan santan kelapa). Sayur-sayuran yang
diambil dari kebun tersebut dan biasanya lauk yang tidak pernah ketinggalan
dalam tradisi Me’urup adalah Gulee Plik
di tambah ikan asin bakar Hidangan sederhana namun menambah nafsu makan ini
paling di gemari oleh masyarakat aceh .Suasana kebun dan kebersamaan yang
membuat semua orang yang bekerja lahap untuk menyantap sajian yang terletak di
atas tikar. Setelah selesai makan semua masih beristirahat, biasanya sampai jam
14.00 siang. Selanjutnya mulai lagi bekerja di hamparan kebun bersama-sama
sampai jam 17.00 sore. Biasanya setelah selesai bekerja, pemilik kebun
memberikan buah tangan kepada orang-orang yang bekerja dikebunnya. Buah tangan
ini biasanya apa yang ada dikebunnya; misalnya buah labu kuning, ubi kayu, daun
singkong, pisang dan lain-lain. Kadang-kadang orang yang ikut bekerja mengambil
sendiri. Demikian proses Me’urup satu hari di satu kebun petani, hal ini akan
berulang sama di kebun yang selanjutnya namun tergantung pada pekerjaan yang
akan dilakukan.
Sepintas lalu memang kegiatan Me’urup
ini sudah hampir punah di Aceh. Hantaman budaya induvidual yang berhembus
dari barat mulai mengikis budaya solidaritas yang sebenarnya sudah ditanam dari
leluhur bangsa ini dan oleh para pendiri bangsa ini. Budaya individual ini
tidak hanya menghantam wilayah-wilayah perkotaan bahkan juga mulai menjajah
wilayah pelosok sekalipun dengan bahasa-bahasa iklan yang terselebung bingkisan
kebaikan. Bahasa-bahasa iklan yang hampir setiap saat terkumandang dari
mulut-mulut yang tersuap oleh para pemilik modal dan kuasa dan mencuci otak
hampir semua manusia untuk bertindak secara individual. Dan ini akan
terus-menerus berkumandang dan menembus lorong-lorong yang terjauh dalam
kumpulan manusia.
Ada beberapa pelajaran yang menarik
yang dapat ditarik dari kegiatan Me’urup ini. Solidaritas dari sesama
masyarakat petani akan mempermudah, meringankan setiap kerja-kerja yang
dilakukan. Dampak lain adalah semakin menambah semangat kerja dan semangat
kekeluargaan. Apabila ini dikerjakan secara berkelanjutan maka akan menjadi
sebuah gerakan besar untuk mengantisipasi gelombang-gelombang individualistis
dalam komunitas pedesaan.